[Dinniherra Suwarma](https://www.iramanusantara.org/artist/dinnihera-soewarno) merupakan salah satu sosok yang berperan penting dalam perkembangan kancah musik populer lokal, setidaknya di Kota Bandung pada paruh kedua 1970-an. Kiprah pemusik yang lebih dikenal dengan nama Dinni Suwarma ini bermula saat ia tergabung sebagai pemain bass dalam grup band Known dan The Flowers pada akhir 1960-an. Meski demikian, sebagian besar penampilannya lebih banyak dihabiskan dalam pesta-pesta anak muda yang kerap diselenggarakan secara eksklusif di kawasan pemukiman elite maupun klub Bumi Sangkuriang. Maka tidak heran, apabila khalayak musik di kota itu baru mengenal Dinni Suwarma saat memasuki medio 1970-an, terutama setelah grup band [Bimbo](https://www.iramanusantara.org/artist/bimbo-1) mengajaknya untuk terlibat sebagai penulis lirik dalam album rekaman musik [“Balada Pendekar”](https://www.iramanusantara.org/release/864) (1975) dan [“Pop Rock”](https://www.iramanusantara.org/release/3339) (1976). Terlebih lagi, kedua album itu diproduksi dan didistribusikan oleh [Remaco](https://www.iramanusantara.org/label/15?), yang notabenenya merupakan salah satu label rekaman musik terbesar sepanjang 1970-an.

Paruh kedua 1970-an merupakan tahun-tahun yang produktif bagi Dinni Suwarma. Ia terlibat dalam sebagian besar penulisan lirik dari album rekaman musik penyanyi [Rien Djamain](https://www.iramanusantara.org/artist/rien-djamain) yang ketiga, yakni [“Tuan dan Kami”](https://www.iramanusantara.org/release/4872) (1976). Di samping itu, Dinni Suwarma juga aktif menyelenggarakan rangkaian pertunjukan musik langsung berformat akustik di Kota Bandung dan Jakarta bersama komunitas Monticelli. Dilansir dari majalah Aktuil, eksistensi Monticelli dalam perkembangan kancah musik lokal tidak dapat dipisahkan dari sepak terjang Dinni Suwarma. Sebab, komunitas itu awalnya hanya dikenal sebagai sarana penyaluran bagi anak muda di Kota Bandung yang memiliki minat dalam bidang olahraga. Namun setelah kepulangan Dinni Soewarma dari Jerman Barat pada 1974, Monticelli kemudian berkembang menjadi entitas grup band dan penyelenggara pertunjukan musik langsung. 

Di samping musik rock, 1970-an juga merupakan masa maraknya anak muda di kota-kota besar dalam membentuk grup musik maupun menyelenggarakan pertunjukan berformat akustik yang terinspirasi dari tren musik folk revival di Barat. Biaya produksi panggung yang terjangkau maupun instrumen gitar akustik yang praktis menjadi faktor yang mempengaruhi anak muda untuk memainkan jenis musik tersebut. Situasi ini juga didukung oleh keberadaan pabrik Genta di Kota Bandung, yang mampu memproduksi gitar akustik dengan harga terjangkau bagi anak muda. Maka tidak heran, apabila sepanjang 1970-an kerap ditemukan diskusi maupun pertunjukan musik akustik di setiap sudut kota itu, baik dalam wujud festival, kompetisi, malam hiburan tingkat sekolah, perguruan tinggi hingga RT/RW.  

Dalam suasana maraknya pertunjukan musik akustik pada dekade itu, dapat dikatakan bahwa pertunjukan yang diselenggarakan Monticelli menawarkan pengalaman menonton musik yang berbeda. “Pagelaran Musik Akustik Monticelli” yang diselenggarakan pada November 1976 di Gedung Lyceum Bandung, misalnya tidak hanya menampilkan pemusik yang telah dikenal audiens anak muda seperti [Harry Roesli](https://www.iramanusantara.org/artist/harry-roesli), [Janto Soedjono](https://www.iramanusantara.org/artist/yanto-sujana/appearances), [“Djaka Bimbo”](https://www.iramanusantara.org/artist/jaka-bimbo), [Iwan Abdurachman](https://www.iramanusantara.org/artist/iwan-abdulrachman) dan [Wandi Kuswandi](https://www.iramanusantara.org/artist/wandi-kuswandi/appearances) untuk bereksperimen dengan gitar akustik, tetapi juga berbagi panggung dengan sesama pemusik muda seperti [Yan Hartland](https://www.iramanusantara.org/artist/yan-hartland/appearances), grup band Troubadours, T’slag dan Stairway. Mereka juga didorong untuk menampilkan karya lagunya sendiri daripada lagu-lagu dari pemusik folk Barat maupun lokal yang telah populer di kalangan anak muda. Oleh sebab itu, para audiens yang hadir juga disuguhkan dengan latar dekorasi panggung yang menampilkan lirik lagu dari masing-masing penampil. 

Bagi Monticelli, dekorasi latar panggung dengan lirik tidak hanya berfungsi sebagai modus untuk mempromosikan lagu-lagunya maupun yang diciptakan oleh para penampil kepada para audiens. Siasat ini juga bertujuan agar para pemusik muda memiliki rasa percaya diri dalam memainkan lagu ciptaannya. Sebab, dari sebagian besar anak muda di kota-kota besar yang memilih bermain musik dengan iringan gitar akustik pada masa itu cenderung lebih percaya diri dengan memainkan lagu-lagu ciptaan pemusik lain. Sebagian nama-nama yang tampil dalam acara “Pagelaran Musik Monticelli” itu kemudian mendapat kesempatan untuk melakukan rekaman dalam album kompilasi yang bertajuk “Musik Akustik Monticelli.” 

Album rekaman musik yang dirilis oleh [Hidayat & Co](https://www.iramanusantara.org/label/303?) pada 1977 itu juga dapat dikatakan sebagai respon Monticelli atas maraknya pertunjukan musik yang bertajuk “Festival Folksong”, tetapi tidak ubahnya seperti kompetisi antar grup vokal yang didominasi oleh lagu-lagu pop melankolis. Dalam tulisannya yang dimuat di majalah Aktuil , penulis sekaligus pemusik [Remy Sylado](https://www.iramanusantara.org/artist/remmy-sylado) juga berkomentar tentang “Festival Folksong” yang marak diselenggarakan pada 1970-an yang diibaratkan sebagai “kompetisi versi akustik” dari lagu-lagu pop dengan lirik bertema seputar ratapan atas relasi romantis, yang kerap dipromosikan oleh produser-sponsor musik maupun TVRI. Sebaliknya, lagu-lagu yang direkam dalam album rekaman kompilasi “Musik Akustik Monticelli” ini dapat dikatakan menawarkan tema keseharian yang lebih beragam, seperti kisah tentang pedagang suratkabar hingga pergi berobat ke klinik.   

Pertunjukan musik akustik yang diselenggarakan oleh Monticelli ini memang terkesan eksklusif. Bahkan, saat diwawancara oleh majalah Aktuil, Dinni Suwarma mengatakan bahwa Monticelli secara sadar menggunakan sistem tiket tidak hanya untuk menutupi biaya produksi panggung, tetapi juga berfungsi untuk menyaring audiens. Ia juga berharap bahwa dengan sistem tiket, audiens yang hadir bukan merupakan kelompok demografi yang hanya sekadar “mencari keramaian”, melainkan untuk mengapresiasi musik beserta lirik yang disuguhkan oleh para penampil. Ide untuk menyaring audiens ini mungkin terkait dari pengalaman menyakitkan yang diterima Dinni Suwarma saat tampil bersama Monticelli di hadapan audiens dengan latar belakang yang lebih beragam. Dalam sebuah pertunjukan musik yang diselenggarakan pada 1976 di Dago Tea House, Bandung, Dinni Suwarma memilih untuk “turun panggung” setelah mendapat ucapan yang tidak sopan dari para audiens. 

Tentunya, peristiwa seperti itu masih kerap kita dengar, saksikan dan alami pada hari ini, bukan?

-----

##### Daftar Bacaan Terkait:
- 009 (1977). “Musisi Bandung Dalam Satu Kaset” dalam [Aktuil No. 219, 1977](https://www.iramanusantara.org/pustaka/219/preview), hlm. 58. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.
- 009 & Navis, B. (1976). “Dinniherra Suwarma: Satu lagi Pionir dari Bandung” dalam [Aktuil No. 208](https://www.iramanusantara.org/pustaka/208/preview), 1976, hlm. 18-19. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.
- Abortus, Hernia. (1977). “Musik Akustik Monticelli Club” dalam [Aktuil No. 229, 1977](https://www.iramanusantara.org/pustaka/229/preview), hlm. 58. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.
- Bachrumnavis. (1976). “Dinni Suwarma “Pundung” dalam [Aktuil No. 208, 1976](https://www.iramanusantara.org/pustaka/208/preview), hlm. 43. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.
- Redaksi Majalah Aktuil. (1969). “Wadjah Depan: The Flowers” dalam [Aktuil, No. 29, 1969](https://www.iramanusantara.org/pustaka/37/preview), hlm. 3. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.
- Sylado, Remy. (1974). “Folksong Genap Setahun” dalam [Aktuil, No. 150, 1974](https://www.iramanusantara.org/pustaka/151/preview), hlm. 12-15 & 46-47. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.
- Sylado, Remy. (1974b). “Sehari Tiga Gitar Kocok” dalam [Aktuil, No. 150, 1974]( https://www.iramanusantara.org/pustaka/151/preview), hlm. 12. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses d pada 21-02-2023.
- Sylado, Remy. (1976). “Gulayak Cadas: Gerakan Musik Anti Komersil" dalam [TOP, No. 45, 1976](http://museummusikindonesia.id/id/2020/12/03/top-edisi-045-1976/), hlm. 10 & 12-14. Koleksi milik Museum Musik Indonesia. Diakses pada 18-05-2021. 
- Sylado, Remy. (1979). “Musik Akustik Telah Kehilangan Sikap: Monticelli Kasih Jawaban” dalam Aktuil, No. 6, Tahun IX, 1979, hlm. 40-41. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara.
- Leo, Bens. (1977). “Kali Ini One Dee-Bonnie-Pahama di TIM” dalam [Aktuil No. 233, 1977](https://www.iramanusantara.org/pustaka/233/preview), hlm. 12-13. Koleksi milik Yayasan Irama Nusantara. Diakses pada 21-02-2023.


Daftar / masuk dulu ya!

Filter

Merchandise